13 Oktober 2009

TRADISI, ISLAM DAN MODERNITAS




Tulisan ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaan Apakah di zaman modernitas seperti sekarang ini tradisi atau adat istiadat masih harus dipertahankan dan nilai-nilai keislaman harus tunduk padanya? Sebelum menjawab, terlebih dahulu kita harus tahu apa itu pengetahuan? Pengetahuan adalah hasil cerapan indra atau hasil intuisi terhadap pengalaman hidup. Dengan demikian maka ada 2 teori pengetahuan yang berkembang sehari-hari atau yang biasa disebut Ordinary Knowledge dan pemahaman akan tradisi atau nilai adat istiadat berada didalamnya.
pertama. Pengetahuan non ilmiah, yaitu pengetahuan hasil cerapan indra atau hasil cerapan intuisi pengalaman hidup yang tidak perlu dan tidak mungkin diuji kebenarannya ataupun dikembangkan menjadi pengetahuan ilmiah.
Kedua. Pengetahuan pra ilmiah, yaitu pengetahuan hasil cerapan indra atau hasil cerapan intuisi pengalaman hidup yang terbuka terhadap pengujian lebih lanjut dengan menggunakan pemikiran yang rasional dan metode-metode ilmiah.

Berdasarkan kedua teori tersebut maka dapat ditarik benang merah bahwa tradisi atau adat istiadat adalah pengetahuan baik bersifat non ilmiah maupun pra ilmiah. Sehingga penulis menilai bahwa tidak semua tradisi atau adat istiadat itu “buruk” karena tradisi atau adat istiadat adalah pengetahuan turun temurun dari nenek moyang kita yang berharga, berharga karena tradisi atau adat istiadat adalah pengetahuan yang merupakan kekayaan budaya yang diperoleh nenek moyang kita dengan melalui pengamatan yang mendalam (dengan metodologi sesuai zamannya) dan pengalaman. Namun penulis juga menggaris bawahi bahwa harus selalu ada pengkajian dan pengujian terhadap tradisi atau adat istiadat dari berbagai aspek agar tidak menjadi boomerang bagi penganut faham tradisionalisme dan faham moderat.

Penulis pernah dibuat terhenyak oleh seorang guru ngaji yang terkenal moderat. Beliau mengatakan bahwa, jika saya meninggal nanti, saya mengizinkan dirumah saya untuk diadakan tahlilan (sampai disini kami semua saling memandang). Kemudian beliau melanjutkan, dengan catatan hal ini…..dan hal itu….tidak boleh ada. Pada dasarnya tradisi tahlilan itu baik karena disana ada dzikir, sholawat, do’a dan menyambung silaturahmi sebagaimana yang diperintahkan Allah. Jadi yang perlu dihilangkan adalah hal-hal yang berbau syirik dan syubhat. Dengan hal ini bukan berarti bahwa nilai-nilai keislaman harus "tunduk" dibawah tradisi atau adat istiadat karena nilai-nilai keislaman tetaplah yang tertinggi tetapi ini merupakan bagian dari fiqh dakwah.

Melihat intonasinya, pertanyaan diatas lahir karena sipenanya merasa keinginannya (semoga bukan karena nafsu) terganggu oleh tradisi atau adat istiadat. Cara mensikapinya adalah, amati atau teliti apakah tradisi atau adat tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keislaman atau tidak. Jika bertentangan tentu kita wajib memegang teguh nilai-nilai keislaman tapi jika tidak bertentangan maka carilah titik temunya dengan bersabar. Sebelum kita memiliki jawaban berdasarkan pengetahuan yang jelas, usahakan jangan mengambil kesimpulan dulu apalagi dengan membuat statement atau bertindak negative karena hal tersebut disadari atau tidak adalah su’udzon yang berujung pada fitnah sehingga akan membuat orang bersikap antipati terhadap kita dan juga akan membuat orang tahu seberapa tinggi ilmu pengetahuan kita. Kita memang harus belajar bijak dan sabar dalam mensikapi apapun khususnya keadaan lingkungan kita yang notabene memiliki banyak nilai (multi value) karena kita berada dilingkungan tersebut. Jangan malu, dan canggung untuk belajar dan bertanya terlebih dahulu sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan. Semoga ulasan dan contoh ini bisa menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar